Tuesday, May 13, 2014

Konflik Batin

Sering kali terbesit pikiran, "Apa sebaiknya saya pindah jurusan saja, ya?" 
Kemudian nurani berbisik, "Jangan! Kau sudah sampai pada titik ini, semester 4, sudah separuh jalan yang kau tempuh! Lihatlah 4 semester lagi kau akan sampai di penghujung S1 Pendidikan Dokter. Apa kau lupa bagaimana perjuanganmu, usaha kerasmu yang bisa mengantarkanmu di kota Atlas ini? Apa kau lupa do'a yang orang tuamu panjatkan agar kau bisa diterima di sini? Apa kau lupa betapa bahagianya keluargamu, mendengar kabarmu diterima kuliah di sini?"

Ya. Begitulah konflik batin yang saya rasakan saat ini. Di pertengahan semester 4 ini, tiba-tiba saja saya merasa dunia kedokteran bukan passion saya. Tapi untungnya, nurani selalu menguatkan saya untuk tetap berada di sini, di kampus ini, di jurusan ini, bersama teman-teman yang selalu membuat saya tertawa setiap harinya di tengah kerasnya kehidupan sebagai mahasiswa kedokteran. Masih lekat dalam ingatan saya, bagaimana dulu euforia menjadi mahasiswa baru! Baru diterima saja, sudah ada  keluarga atau teman SMP-SMA yang memanggil dengan sebutan "Bu dokter".

Takut. Sejujurnya saya takut. Semakin hari, perasaan takut itu semakin menjadi. Kelak, jika saya sudah lulus menjadi dokter, lulus UKDI (Uji Kompetensi Dokter Indonesia) dan mengikuti internship, akan kemanakah saya? Melanjutkan pendidikan spesialis-kah? Oh, sebaiknya pikir-pikir dulu pasti banyak sekali saingan di luar sana, ingat ada puluhan Fakultas Kedokteran dari seluruh Universitas di Indonesia! Ataukah ingin menjadi dokter layanan primer yang "katanya" cocok untuk sistem kesehatan di Indonesia saat ini. Tapi tunggu dulu, tak selamanya dokter dengan pasien yang banyak malah "untung"! Kelak jika pasien yang menjadi tanggungan dokter layanan primer tersebut banyak yang sakit, dokter tersebut malah rugi besar, karena dokter harus menanggung seluruh biaya pengobatan pasien yang sudah menjadi tanggungannya tersebut. Jadi, pintar-pintarlah dokter tersebut mencari cara agar pasiennya tidak banyak yang sakit. Maka dari itu, tindakan yang paling penting adalah promotif (edukasi tentang kesehatan) dan preventif (pencegahan penyakit), bukan lagi kuratif (pengobatan). 

Kemudian terbesit pula pikiran, "Apa saya tetap meneruskan pendidikan hingga lulus menjadi dokter, tapi setelah itu saya banting stir?" Nurani kembali berbisik, "Sebaiknya jangan berpikiran seperti itu, jadi selama ini untuk apa kau sekolah kedokteran? Hei, bertahun-tahun kau mengenyam pendidikan ini! Memang masa depan adalah rahasia Ilahi, tapi kita bisa menatanya sedari sekarang." 

Menjadi dokter memang pilihan saya tanpa paksaan dari pihak manapun. Tapi saya takut. Takut tidak bisa menjadi dokter yang baik. Takut ilmu yang saya dapatkan semasa di bangku kuliah lupa dan sirna begitu saja karena terlalu banyak ilmu-ilmu baru yang harus dipelajari, tanpa sempat mengulang dan mempelajari kembali ilmu-ilmu terdahulu. Saya juga takut salah langkah, salah diagnosa, salah memberi terapi (salah obat), Naudzubillah minzalik! Begitulah ketakutan mahasiswa kedokteran semester 4, yang mulai bersentuhan dengan materi kuliah berbau klinis.

Semoga Allah selalu menguatkan saya. Semoga seluruh mahasiswa kedokteran di Indonesia dapat belajar dengan sebaik-baiknya, sehingga ketakutan-ketakutan seperti yang saya sebutkan di atas tidak akan pernah terjadi lagi di Indonesia. Aamiin yaa robbal alamiin.

No comments:

 

Warna-Warni Kehidupan Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ways To Make Money Online | Surviving Infidelity by Blogger Templates